KEWENANGAN PENUNTUTAN: EKSISTENSI PASAL 35 AYAT (1) HURUF J UU KEJAKSAAN dan PASAL 51 AYAT (1) UU KPK

Oleh : Suparji (Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Al Azhar Indonesia)

Nasional225 Dilihat

A. Pendahuluan

Berdasarkan UU Kejaksaan yang baru yaitu nomor 11 tahun 2021 pada pasal 35 ayat (1) huruf j mendelegaslkan sebagian kewenangan Penuntutan kepada Penuntut Umum untuk melakukan Penuntutan dan dalam penjelasan pasal a quo tugas dan wewenang kejaksaan di bidang pidana ditentutan dengan memperhatikan asas single prosecution system, asas eendolbar, dan asas opurtunitas .

Pendelegasian kewenangan penuntutan dari Jaksa Agung Kepada Penuntut Umum harus sejalan dengan kebijakan penegakan hukum yang telah ditetapkan oleh Jaksa Agung selaku pemilik Tunggal kewenangan penuntutan.
Pada sisil lain, dalam UU KPK nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pasal 51 ayat (1) terkait dengan penuntutan yang berbunyi Penuntut adalah Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Kedua ketentuan tersebut perlu dikaji eksitensinya, baik dari sisi administrasi dan asas single prosecution system , dimana Jaksa Agung sebagai penuntut umum tertinggi yang tertuang dalam uu kejaksaan yang baru.

B. Permasalahan
Pengkajian ini penting, karena menimbulkan permasalahan dalam penuntutan di Indonesia, antara lain Kejaksaan dan KPK masing-masing melakukan penuntutan secara sendiri-sendiri sehingga mengakibatkan disparitas penuntutan perkara pidana, yakni penerapan hukum yang berbeda-beda dalam perkara pidana.

C. Pembahasan

1. Pemberantasan Korupsi
Kemajuan suatu negara sangat ditentukan oleh kemampuan dan keberhasilannya dalam melaksanakan pembangunan. Pembangunan sebagai suatu proses perubahan yang direncanakan mencakup semua aspek kehidupan masyarakat.

Indonesia merupakan salah satu negara terkaya di Asia dilihat dari keanekaragaman kekayaan sumber daya alamnya. Tetapi ironisnya, negara tercinta ini dibandingkan dengan negara lain bukanlah merupakan sebuah negara yang sejahtera. Mengapa demikian? Salah satu penyebabnya adalah rendahnya kualitas sumber daya manusianya. Kualitas tersebut bukan hanya dari segi pengetahuan atau intelektualnya tetapi juga menyangkut kualitas moral dan kepribadiannya. Rapuhnya moral dan rendahnya tingkat kejujuran dari aparat penyelenggara negara menyebabkan terjadinya korupsi.

Korupsi di Indonesia merupakan penyakit sosial yang sangat berbahaya yang mengancam semua aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Korupsi telah mengakibatkan kerugian materiil keuangan negara yang sangat besar. Hal itu merupakan cerminan rendahnya moralitas dan rasa malu, sehingga yang menonjol adalah sikap kerakusan dan kekuasaan.

Persoalannya adalah dapatkah korupsi diberantas? Tidak ada jawaban lain kalau bangsa ingin maju, maka korupsi harus diberantas sampai tuntas. Jika tidak berhasil memberantas korupsi, atau paling tidak mengurangi sampai pada titik nadir yang paling rendah maka jangan harap negara ini akan mampu mengejar ketertinggalannya dibandingkan negara lain untuk menjadi sebuah negara yang maju. Karena korupsi membawa dampak negatif yang cukup luas dan dapat membawa negara ke jurang kehancuran.

Indonesia adalah negara hukum yang demokratis, karena Indonesia negara berdasarkan atas hukum yang mengimplementasikan nilai-nilai demokrasi. Namun, bukan hukumnya itu yang demokratis tapi adalah negara hukum yang melandasi nilai-nilai demokrasi.
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 membawa pengaruh dalam pembatasan kekuasaan kehakiman Presiden. Pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang merdeka diatur dalam bab IX, yang berjumlah 5 pasal dan 16 ayat. Kekuasaan kehakiman yang merdeka dimaksudkan untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Kejaksaan merupakan lembaga pemerintahan yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang melaksanakan kekuasaan negara berdasarkan Undang-Undang. Kejaksaan dalam menjalankan fungsinya yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman dilaksanakan secara merdeka.

Pengaturan fungsi Kejaksaan yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman memiliki landasan kedudukan kelembagaan, tugas dan fungsi Kejaksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (3) UUD 1945, Pasal 38 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

2. Penyidikan oleh Kejaksaan
Dari aspek historis, kewenangan jaksa dalam melakukan penyidikan terhadap kasus tindak pidana tertentu, khususnya tindak pidana korupsi sudah dimulai sejak berlakunya Herziene Inlandsch Reglement (HIR) hingga saat ini.

Pada masa HIR, penyidikan merupakan bagian dari penuntutan. Kewenangan itu menjadikan penuntut umum (jaksa) sebagai koordinator penyidikan. Bahkan, jaksa dapat melakukan penyidikan sendiri sesuai Pasal 38 jo Pasal 39 jo Pasal 46 ayat (1) HIR.

Dalam perkembangannya lahirlah sejumlah Undang-Undang yang memberi kewenangan penyidikan jaksa dalam perkara tertentu termasuk korupsi. Antara lain, UU No. 15 Tahun 1961 tentang Kejaksaan, UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tipikor, Pasal 284 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor, UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Termasuk fatwa MA No. KMA/102/III/2005 atas Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan yang menyatakan kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan Undang-Undang.

Pembagian kewenangan penyidikan atau penuntutan antara kepolisian dan kejaksaan secara tegas (strict) merupakan dalil yang tidak memeliki landasan yuridis. Sebab, dalam praktik di banyak negara wewenang melakukan penyidikan tidak dipisahkan dari wewenang melakukan penuntutan.

Kewenangan jaksa selaku penyidik sejak berlakunya Pasal 6 KUHAP, sehingga kepolisian bukan penyidik tunggal terhadap perkara apapun. Pasal inilah yang menjadi acuan kewenangan jaksa bertindak selaku penyidik tindak pidana korupsi.

Kejaksaan memiliki mekanisme pengawasan atau pengendalian dalam melakukan fungsi penyidikan. Penyidikan Tindak Pidana Tertentu yang dilakukan oleh Kejaksaan tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang, karena setidaknya ada dua dua Lembaga yang melakukan pengawasan, yaitu Lembaga praperadilan dan pengawasan internal.

Pada pre trial, hakim mempunyai kewenangan tidak saja sebagai examinating judge, tetapi juga mencakup wewenang investigating judge. Sementara pada hakim praperadilan hanya memiliki wewenang terbatas pada examinating judge dan itu pun tidak terhadap wewenang pengujian seluruh upaya paksa yang dilaknsanakan oleh penyidik, khususnya tidak melakukan pengujian terhadap alat bukti, bahkan keabsahan alat bukti yang dikaitkan dengan

Mekanisme pengendalian dalam penyidikan dilakukan oleh Jaksa Agung RI yang dibantu oleh Jaksa Agung Muda. Kedudukan Jaksa Agung Muda menyusun dan menerbitkan peraturan dalam rangka pengendalian proses penyelidikan, penyidikan, eksekusi putusan dan eksaminasi penanganan perkara tindak pidana.

Dengan mekanisme tersebut, maka kewenangan penyidikan kejaksaan tidak makin super power.

Meski jaksa diberi kewenangan penuntutan atas nama negara, namun itu tidak terlepas dari pengawasan dalam pelaksanaannya yakni Presiden, majelis kode perilaku, Komisi Kejaksaan Republik Indonesia, dan DPR.

Pemberian wewenang jaksa sebagai penyidik dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan tidak akan menjadikan jaksa dapat sewenang-wenang dalam proses penyidikan. Proses prapenuntutan atas penyidikan yang dilakukan jaksa dilakukan sekaligus oleh jaksa juga, ada kontrol penyidikan yang dilakukan dari lembaga lain. Dengan ada fungsi kontrol tersebut, jaksa akan memperhatikan hak-hak tersangka, seperti permintaan untuk dilakukan pemeriksaan saksi/ahli dari tersangka dengan tujuan membuat terang suatu perkara.

KUHAP telah menerapkan proses penegakan hukum yang proporsional dengan penerapan diferensiasi pada setiap komponen, dengan tujuan agar masing-masing aparat memiliki batasan yang jelas akan tugasnya. Sehingga, tidak terjadi pelaksanaan wewenang yang tumpang tindih antara satu bidang dengan bidang lainnya. Selain itu, diferensiasi dilakukan untuk membagi peran penyidikan yang dilakukan oleh polisi dan kejaksaan.

Meski setiap komponen memiliki kewenangan tertentu untuk peran yang berbeda, tetapi dalam mewujudkan sistem keadilan yang utuh, setiap komponen harus melakukan koordinasi yang baik. Namun karena alasan tertentu, tidak tertutup kemungkinan adanya pemberian kewenangan khusus, sehingga perlu pula adanya koordinasi yang baik dan jelas.

Selain KUHAP ada pula UU Kejaksaan, UU Kepolisian, UU KPK, UU Tipikor adalah undang-undang yang memberikan pengecualian atau wewenang khusus.

Keberadaan Pasal 30 ayat (1) huruf b UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan UU No.11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, memberikan kewenangan kejaksaan dalam melakukan penyidikan pada norma tersebut bukan ketentuan yang bersifat umum. Artinya, terdapat suatu pengecualian di dalamnya dan hal demikian sangat lazim dan jika diperlukan untuk menangani hal-hal yang bersifat khusus.

Terkait tindak pidana korupsi di Indonesia yang meningkat, maka upaya pemberantasan ini tidak dapat dilakukan dengan cara biasa, maka diperlukan penegakan hukum secara khusus, antara lain dengan pemberian wewenang penyidikan dapat dilakukan oleh lebih dari satu institusi hukum, sehingga hukum dapat ditegakkan secara optimal.

Jaksa sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tersebut dapat menghapus mata rantai prapenuntutan, sehingga jaksa dapat membuat penyelesaian perkara lebih efisien. Dengan kewenangan jaksa yang dapat melakukan penyidikan, maka secara praktis hal ini pun akan mempercepat jaksa menguasai perkara dan pembuktiannya tidak akan bertele-tele.

Dalam KUHAP, kewenangan penyidikan dilakukan oleh Kepolisian Republik Indonesia. Pasal 6 KUHAP menyebutkan penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, ini berarti bahwa kepolisian adalah penyidik tunggal di dalam KUHAP.

Akan tetapi dalam aturan peralihan pasal 284 ayat (2) KUHAP menyebutkan dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan, maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualiann untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi

Sejak berlakunya KUHAP, maka dasar hukum yang dimiliki oleh Kejaksaan selaku penyidik dalam tindak pidana koruspi adalah pasal 284 ayat (2) KUHAP. Dalam pasal tersebut dikatakan: dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan, maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi.
.
Dalam mekanisme penegakan hukum pidana, KUHAP menentukan adanya sistem penegakan hukum pidana terpadu, termasuk proses penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik Polri/PNS, penuntutan oleh Kejaksaan, dan pemeriksaan di depan persidangan oleh Hakim.

Setiap tindakan penegak hukum diproporsikan secara terbatas dan tertentu dalam prinsip diferensiasi fungsional di antara penegak hukum, diiringi pula dengan sistem pengawasan dari instansi penegak hukum lainnya. Asas keseimbangan yang termuat dalam KUHAP merupakan suatu bentuk pembatasan penumpukan kekuasaan agar penegak hukum tidak mudah terjangkit kecenderungan arogansi kekuasaan.

Untuk itu dalam rangka mendukung komitmen penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi, maka Polri, Kejaksaan, dan KPK telah bersinergi dengan baik sebagai wujud optimalisasi pemberantasan korupsi dalam lingkup intelijen, penyidikan, penyelidikan, penyidikan, dan penindakan.

Prinsip diferensiasi fungsional menjadi wujud penegakan pembagian tugas dan wewenang, antara jajaran aparat penegak hukum secara instansional. KUHAP meletakkan asas penjernihan dan modifikasi bagi fungsi dan wewenang antara setiap instansi penegak hukum.

Pengelompokan tersebut diatur sedemikian rupa sehingga tetap terbina korelasi dan koordinasi dalam proses penegakan hukum yang saling berkaitan dan berkelanjutan antara satu dengan instansi lainnya, hingga taraf proses pelaksanaan eksekusi dan pengawasan pengamatan pelaksanaan eksekusi.

Perubahan hukum dan perundang-undangan bukan saja berdasarkan suatu legislasi, namun juga dapat berubah dikarenakan adanya suatu Putusan Mahkamah Konstitusi. Beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut mempengaruhi tugas Jaksa seperti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 6-13-20/PUU/VIII/2010 tanggal 13 Oktober 2010 yang membuat kewenangan Jaksa untuk menarik barang cetakan dalam rangka pengawasan harus melalui pengujian di sidang pengadilan, selanjutnya terdapat juga Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 130/PUU-XIII/2015 tanggal 11 Januari 2017 dimana Penyidik wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada Penuntut Umum dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkannya Surat Perintah Penyidikan. Putusan ini mencerminkan penegasan Asas Dominus Litis yang hanya dimiliki oleh Jaksa.

3. Penuntutan oleh Kejaksaan dan KPK
Kejaksaan merupakan lembaga pemerintahan yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang melaksanakan kekuasaan negara berdasarkan Undang-Undang. Kejaksaan dalam menjalankan fungsinya yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman dilaksanakan secara merdeka.

Pengaturan fungsi Kejaksaan yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman memiliki landasan kedudukan kelembagaan, tugas dan fungsi Kejaksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (3) UUD 1945, Pasal 38 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

Berdasarkan Pasal 14 KUHAP bahwa prapenuntutan terletak antara dimulainya penuntutan dalam arti sempit (perkara dikirim ke pengadilan) dan penyidikan yang dilakukan oleh penyidik.

Dalam Pasal 14 KUHAP butir b terdapat istilah pra penuntutan:

mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyelidikan dari penyidik.

Sehingga prapenuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan oleh penyidik.

Secara global dan sistematis pengertian penuntutan atau vervolging terdapat dalam Pasal 1 butir 7 KUHAP yang menyatakan penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.

Menuntut seorang terdakwa di muka Hakim Pidana adalah menyerahkan perkara seorang terdakwa dengan berkas perkaranya kepada hakim, dengan permohonan supaya hakim memeriksa dan kemudian memutuskan perkara pidana itu terhadap terdakwa”.

Berdasarkan pengertian penuntutan tersebut, pada asasnya penuntutan adalah:

Suatu proses di mana penuntut umum melakukan tindakan melimpahkan perkara hasil penyelidikan;
Pelimpahan tersebut dilakukan kepada kompetensi Pengadilan Negeri yang berwenang;
Pelimpahan tersebut diajukan dengan permintaan agar diperiksa dan dijatuhkan putusan oleh Hakim Pidana.

Berdasarkan asas dominus litis yang dianut dalam KUHAP, maka apabila diklarifikasikan lebih detail dan sistematis dalam rangka melakukan dan mempersiapkan penuntutan secara eksplisit wewenang penuntut umum berdasarkan Pedoman Pelaksanaan KUHAP adalah :

Menerima pemberitahuan dari penyidik dalam hal penyidik telah melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana (Pasal 109 ayat (1)) dan pemberitahuan, baik dari penyidik maupun penyidik PNS yang dimaksud oleh Pasal 6 ayat (1) huruf b mengenai penyidikan dihentikan demi hukum;
Menerima berkas perkara dari penyidik dalam tahap pertama dan kedua sebagaimana dimaksud Pasal 8 ayat (3) huruf a dan b dalam hal Acara Pemeriksaan Singkat menerima berkas perkara langsung dari penyidik pembantu (Pasal 12);
Mengadakan prapenuntutan (Pasal 14 huruf b) dengan memperhatikan ketentuan materi Pasal 110 ayat (3), (4) dan Pasal 138 ayat (1) dan (2);
Memberikan perpanjangan penahanan (Pasal 24 ayat (2); melakukan penahanan dan penahanan lanjutan (Pasal 20 ayat (2), Pasal 21 ayat (2); Pasal 25 dan Pasal 29; melakukan penahanan rumah; (Pasal 22 ayat (2)); penahanan kota (Pasal 22 ayat (3)); serta mengalihkan jenis penahanan (Pasal 23) (5) Atas permintaan tersangka atau terdakwa mengadakan penangguhan penahanan serta dapat mencabut penanggguhan penahanan dalam hal tersangka atau terdakwa melanggar syarat yang ditentukan (Pasal 31);
Mengadakan penjualan lelang benda sitaan yang lekas rusak atau membahayakan karena sifat tidak mungkin untuk disimpan sampai putusan pengadilan terhadap perkara itu memperoleh kekuatan hukum tetap atau mengamankannya dengan disaksikan oleh tersangka atau kuasanya (Pasal 45 ayat (1));
Melarang atau mengurangi kebebasan hubungan penasihat hukum dengan tersangka sebagai akibat disalah gunakan haknya (Pasal 70 ayat (4)); mengawasi hubungan antara penasihat hukum dengan tersangka tanpa mendengar isi pembicaraan (Pasal 71 ayat (1) dan dalam hal kejahatan terhadap keamanan negara dapat mendengar isi pembicaraan tersebut (Pasal 71 ayat (2)), pengurangan kebebasan hubungan antara penasihat hukum dan tersangka tersebut dilarang apabila perkara telah dilimpahkan penuntut umum ke Pengadilan Negeri untuk disidangkan (Pasal 74);
Meminta dilakukan praperadilan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan oleh Penyidik (Pasal 80);
Dalam perkara koneksitas, karena perkara pidana itu harus diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, maka penuntut umum menerima penyerahan perkara dari oditur militer dan selanjutnya dijadikan dasar untuk mengajukan perkara tersebut kepada pengadilan yang berwenang (Pasal 91 ayat (1));
Menentukan sikap apakah suatu berkas perkara telah memenuhi persyaratan atau tidak untuk dilimpahkan ke pengadilan (Pasal 139);
Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab selaku penuntut umum (Pasal 14 huruf i);
Apabila penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, maka dalam waktu secepatnya ia membuat surat dakwaan (Pasal 140 ayat (1));
Membuat surat penetapan penghentian penuntutan (Pasal 140 ayat (2) huruf a), dikarenakan: tidak cukup bukti; peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana; perkara ditutup demi hukum;
Melanjutkan penuntutan terhadap tersangka yang dihentikan penuntutan dikarenakan adanya alasan baru (Pasal 140 ayat (2) huruf d);
Mengadakan penggabungan perkara dan membuatnya dalam surat dakwaan (Pasal 141); Mengadakan pemecahan penuntutan (splitsing) terhadap satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan beberapa orang tersangka (Pasal 142);
Melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri dengan disertai surat dakwaan beserta berkas perkara (Pasal 143 ayat (1)); (18) Membuat surat dakwaan (Pasal 143 ayat (2));
Untuk maksud penyempurnaan atau untuk tidak melanjutkan penuntutan; penuntut umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan menetapkan hari sidang atau selambat-lambatnya tujuh hari sebelum sidang di mulai (Pasal 144).

Paad dasarnya tujuan dilakukan penuntutan adalah:

Untuk melindungi kepentingan umum (algemene belangen). Hal ini berhubungan erat dengan sifat dari ketentuan hukum pidana dan hukum acara pidana guna melindungi kepentingan umum;
Untuk menegakkan adanya kepastian hukum (Recht-Zeker heids), baik ditinjau dari kepentingan orang yang dituntut maupun kepentingan orang yang dituntut dari peraturan itu sendiri;
Sebagai konsekuensi yuridis asas Negara Hukum (Rechtsstaat) maka dengan dituntutnya seorang di depan sidang pengadilan dimaksudkan guna terciptanya kebenaran materiil dan diharapkan seseorang mendapatkan perlakuan adil sesuai prosedural hukum dengan diberikan hak pembelaan diri mulai dari adanya keberatan (eksepsi), pleidooi, replik, duplik, serta upaya hukum biasa dan luar biasa;
Ditinjau dari aspek penuntut umum tujuan dilakukannya penuntutan itu adalah untuk menegakkan asas legalitas (Legaliteitsbeginsel) yang mewajibkan kepada penuntut umum melakukan penuntutan terhadap seseorang karena dugaan melanggar peraturan hukum pidana, sepanjang asas oportunitas (opportuniteitsbeginsel) tidak diterapkan dalam perkara tersebut.
Keberhasilan penuntutan adalah suatu keadaan dimana kejaksaan mampu mencapai tujuan penuntutan yang telah ditetapkan, yaitu perkaranya dapat diselesaikan secara keseluruhan, penuntutan dan eksekusi yang tidak hanya mengedepankan pemidanaan terhadap pelaku tetapi juga perampasan hasil kejahatan dalam rangka mengembalikan kerugian keuangan negara atau perekonomian nasional.
Ditinjau dari perspektif hukum formil, strategi agar penuntutan tindak pidana khusus berhasil antara lain:
Pertama, Penuntutan Sebagai Kekuasaan Peradilan.
Penuntutan merupakan kekuasaan negara di bidang peradilan atau kekuasaan peradilan. Negara merupakan hasil kontrak sosial (social contract) dari rakyatnya yang menyerahkan sebagian hak-haknya, kebebasan, dan kekuasaan yang dimilikinya kepada suatu entitas kekuasaan bersama dan dinamakan negara, kekuasaan negara, organisasi kekuasaan, atau istilah-istilah yang identik lainnya.Negara diberikan kekuasaan oleh rakyat untuk mengatur ataupun melindungi kepentingan rakyatnya yang salah satunya adalah hak atas keadilan.
Kedua, Yurisdiksi Penuntutan. Jaksa Agung selaku pelaksanaan kekuasaan negara di bidang penuntutan dan selaku penuntut umum tertinggi di suatu negara berwenang untuk menuntut di seluruh pengadilan, baik di dalam maupun di luar negeri. Tidak hanya di bidang pidana melainkan juga di bidang lainnya, antarai lain perdata, tata usaha negara, militer, maupun tata negara. Asas yurisdiksi penuntutan merupakan akses bagi negara untuk dapat melakukan penuntutan. Asas yurisdiksi penuntutan menitikberatkan sejauhmana negara melalui intrumen hukum yang dimiliki dapat mempertahankan kepentingannya dengan cara melakukan penuntutan terhadap pelaku yang melanggar kepentingan negara.
Ketiga, Penuntutan Untuk Kepentingan Negara, Umum, dan Hukum. Penuntutan dapat dilakukan apabila untuk kepentingan negara, umum dan/atau hukum. Penggunaanya harus dilaksanakan secara akuntabel atau terukur. Penuntut umum harus mampu membuktikan atau memetakan ketiga kepentingan dalam suatu peristiwa hukum konkret. Ketiga kepentingan tersebut memang memiliki irisan yang sangat tipis karena memiliki persamaan yang begitu banyak. Meskipun memiliki persamaan, namun demikian, ketiganya dapat dibedakan apabila dilihat dari berbagai perspektif, antara lain dapat dilihat dari perspektif teori kedaulatan, yakni teori kedaulatan negara, kedaulatan rakyat, dan kedaulatan hukum.
Keempat, Asas Een En Ondeelbaar. Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisah-pisahkan. Asas ini berfungsi memelihara kesatuan kebijakan penuntutan yang menampilkan tata pikir, tata laku, dan tata kerja lembaga penuntut.15 Asas ini diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UU 11/2021 yang menyatakan Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan. Dalam penjelasan pasal tersebut dijelaskan bahwa Yang dimaksud dengan “satu dan tidak terpisahkan” adalah satu landasan dalam pelaksanaan tugas dan wewenang Kejaksaan yang bertujuan memelihara kesatuan kebijakan Kejaksaan sehingga dapat menampilkan ciri khas yang menyatu dalam tata pikir, tata laku, dan tata kerja Kejaksaan (een en ondeelbarheids). Pasal tersebut menekankan bahwa institusi Kejaksaan sebagai satu-satunya lembaga yang diberikan wewenang penuntutan dimana Jaksa Agung selaku pimpinan yang mengendalikan tugas dan wewenang Kejaksaan.
Kelima, Delegasi Kewenangan Menuntut. penuntutan sebagai suatu kewenangan dapat didelegasikan. Prinsip dasar asas ini bahwa tidak ada wewenang yang tidak dapat didelegasikan. Jaksa Agung selaku penuntut umum tertinggi dalam suatu negara berwenang untk mendelegasikan kewenangan menuntut kepada siapapun yang ditunjuk oleh Jaksa Agung. Pasal 35 ayat (1) huruf i dan j UU 11/2021 yang menyatakan Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang mendelegasikan sebagian kewenangan penuntutan kepada oditur jenderal untuk melakukan penuntutan dan mendelegasikan sebagian kewenangan penuntutan kepada penuntut umum untuk melakukan penuntutan
Keenam, Dominus Litis. Penuntut umum adalah pemilik perkara atau pihak yang mempunyai kepentingan yang nyata dalam suatu perkara, sehingga berwenang untuk menentukan dapat atau tidaknya suatu perkara diperiksa dan diadili di persidangan. Dalam konteks sistem peradilan pidana, dominus litis ialah pihak yang memiliki kepentingan nyata sehingga suatu perkara dituntut, diperiksa dan diadili di persidangan, yakni penuntut umum. Konsekuensi adanya kepentingan yang nyata tersebut mewajibkan penuntut umum sebagai pemilik kepentingan harus aktif dalam mempertahankan kepentingannya.
Ketujuh, Penuntutan Tunggal (Single Prosecution). Jaksa Agung sebagai penuntut umum tertinggi dalam suatu negara, hanya penuntut umum yang dapat melakukan penuntutan, serta penyidikan bagian dari penuntutan. Dalam konteks asas penuntutan tunggal, negara memberikan kekuasaan penuntutan hanya kepada Jaksa Agung yang dapat mendelegasikan wewenang penuntutan yang dimilikinya kepada siapapun yang dikehendakinya.
Kedelapan, Kewajiban Menuntut (Mandatory Prosecution). Penuntut umum wajib menuntut suatu tindak pidana. Artinya, penuntut umum harus melanjutkan penuntutan perkara yang cukup bukti. Penuntut umum tidak memiliki kewenangan untuk mengesampingkan suatu perkara, melainkan wajib melimpahkan perkara ke pengadilan, tanpa memiliki suatu sikap eksepsionalitas
Kesembilan, Asas Opurtunitas. Penuntut umum berwenang untuk tidak melakukan (mengesampingkan) penuntutan sekalipun terdapat alat bukti yang cukup. Asas oportunitas merupakan salah satu asas yang dikenal dalam kekuasaan penuntutan (opportunieties beginsel). Asas opurtunitas mutlak hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung untuk kepentingan umum.
Kesepuluh, Pelindungan Hukum Penuntut Umum. Pasal 8A UU 11/2021 yang menyatakan Dalam menjalankan tugas dan wewenang, Jaksa beserta anggota keluarganya berhak mendapatkan pelindungan negara dari ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau harta benda
Kesebelas, Proprio Motu. Merupakan asas hukum yang berlaku dalam penuntutan kejahatan hak asasi manusia (HAM) berat. Asas proporio motu merupakan asas yang memberikan wewenang kepada penuntut umum untuk melakukan penyelidikan atas inisiatif sendiri.Asas proprio motu merupakan asas yang memberikan kewenangan yang luas terhadap penuntut umum dalam penanganan perkara pelanggaran HAM Berat
Dalam melakukan penuntutan, Jaksa adalah unsur utama dalam sistem peradilan, untuk itu dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya Jaksa harus melindungi dan menghargai nilai-nilai kemanusiaan dan mendukung Hak Asasi Manusia, hal mana memberikan konstribusi dalam menjamin proses yang berkeadilan dan fungsi yang berjalan dengan baik dari sistem peradilan pidana. Jaksa juga mempunyai peran dalam melindungi masyarakat dari praktik budaya impunitas dan selain itu Jaksa juga berfungsi sebagai garda terdepan dari lembaga peradilan.
Sistem peradilan pidana di Indonesia, posisi Kejaksaan adalah sebagai penuntut umum tunggal (single prosecution system) maupun sebagai satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana (executive ambtenaar) dalam perkembangannya semakin terabaikan, mengingat pada saat ini terdapat beberapa lembaga lain yang juga melaksanakan fungsi penuntutan dan eksekusi tetapi tidak dikendalikan oleh Jaksa Agung, misalnya terhadap perkara Tipikor yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maupun terhadap pelaku tindak pidana dalam lingkungan peradilan militer yang dilakukan oleh Oditurat Militer, Oditurat Militer Tinggi dan Oditurat Tentara Nasional Indonesia.
Komitmen dunia internasional mengenai pentingnya penguatan peran Jaksa dalam fungsi penegakan hukum antara lain terwujud dalam United Nations Guidelines on the Role of Prosecutors (Pedoman PBB tentang Peranan Jaksa) sebagaimana diadopsi dalam Kongres Pencegahan Kejahatan ke-8, di Havana tahun 1990.
Pasal 11 Pedoman PBB tentang Peranan Jaksa tersebut menyatakan bahwa Jaksa harus melakukan peran aktif dalam proses penanganan perkara pidana, termasuk melakukan penuntutan dan jika diizinkan oleh hukum atau sesuai dengan kebiasaan setempat, berperan aktif dalam penyidikan, pengawasan terhadap keabsahan penyidikan tersebut, mengawasi pelaksanaan putusan pengadilan dan menjalankan fungsi lain sebagai wakil kepentingan umum. Kalimat Jaksa melakukan penuntutan harus dimaknai sebagai implementasi dari prinsip penuntut umum tunggal (single prosecution system) dalam sistem peradilan pidana.
Dengan UU Kejaksaan yang baru, para pencari keadilan akan meletakkan tumpuan keadilan pada jaksa, sehingga proses penuntutan yang dimulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan eksekusi akan optimal mewujudkan kebenaran material (substantial truth) dan keadilan.
Untuk terciptanya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila, hukum di Indonesia harus dapat menjamin bahwa pembangunan dan seluruh aspeknya didukung oleh suatu kepastian hukum yang berkeadilan. Untuk itu, Kejaksaan harus mampu untuk terlibat sepenuhnya proses pembangunan di segala aspek serta wajib untuk turut menjaga keutuhan serta kedaulatan Bangsa dan Negara, menjaga dan menegakkan kewibawaan Pemerintah dan Negara, melindungi kepentingan masyarakat serta berpartisipasi aktif dalam perkembangan dalam kancah perkembangan hukum antar Negara dan Internasional. Dengan demikian, kewenangan Penyidikan Kejaksaan tidak melanggar Fundamental Rights

Jika ditinjau dari perbandingan negara lain, kewenangan Jaksa melalkukan penyidikan tindak pidana korupsi juga dilakukan di Amerika, kejaksaan berwenang baik melakukan penyidikan maupun penuntutan dan FBI berada di bawah Jaksa Agung sebagai penuntut umum tertinggi.

Hal yang sama praktek di Jepang, Jerman, dan negara-negara lainnya. Bahkan, menurut KUHAP Rumania dan RRC penyidikan delik korupsi khusus wewenang jaksa.

Aturan pelaksanaan kewenangan kejaksaan dalam melakukan penuntutan sekaligus penyidikan termuat dalam PP 92/ 2015 tentang Perubahan Kedua atas PP 27/ 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP.

Aturan ini merupakan aturan turunan bagi penyidikan yang dilakukan dengan ketentuan atau bersifat khusus, termasuk persoalan pemberantasan tindak pidana korupsi.

Aturan tersebut merupakan koordinasi fungsional dalam sistim peradilan pidana terpadu (intergrated Judiciary System). Sistem ini sebagai suatu sistem dalam masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan dimaknai sebagai upaya untuk mengendalikan atau membatasi kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat.

Komponen-komponen yang berkerja dalam sistem ini meliputi Kepolisian, Kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Empat komponen ini diharapkan dapat bekerjasama sehingga menghasilkan suatu keterpaduan yang kita kenal dengan integrated criminal justice system. Masing-masing komponen secara administratif berdiri sendiri, mempunyai tugas dan fungsi tersendiri sesuai dengan kewenangan dan pengaturan yang dimilikinya, sehingga tidak terjadi tumpang tindih.

D. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tugas dan wewenang kejaksaan dalam penuntutan harus memperhatikan asas-asas universal, antara lain single prosecution system, asas eendolbar, dan asas opurtunitas .

Pendelegasian kewenangan penuntutan dari Jaksa Agung Kepada Penuntut Umum harus sejalan dengan kebijakan penegakan hukum yang telah ditetapkan oleh Jaksa Agung selaku pemilik Tunggal kewenangan penuntutan.
Keberadaan ketentuan dalam UU KPK nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pasal 51 ayat (1), yang terkait dengan penuntutan bahwa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, secara teknis administrative harus mendapat pendelegasian dari Jaksa Agung.

Dalam rangka memberikan kepastian hukum kedua ketentuan tersebut harus dilakukan harmonisasi kewenangan penuntutan antara Kejaksaan dengan KPK pada aspek administrasi dan implementasi asas single prosecution system.